UNISMUH.AC.ID, MAKASSAR – Kelompok Tujuh peserta Benchmarking Pemerintah Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar melakukan penelitian di Dinas Perikanan Bulukumba, Rabu, 12 Juli 2023.
Penelitian ini mengangkat tema “Multilevel Governance Collaboration Dalam Implementasi Blue Ekonomi”. Dinas Perikanan Bulukumba sendiri terdapat tiga bidang yakni Bidang Penangkapan, perikanan Budidaya, dan Bidang Pemasaran.
Kepala Bidang Perikanan dan Budidaya Bulukumba mengatakan bahwa inti dari kegiatan yang dilakukan dapat berdampak pada masyarkat.
“Kalau kita berbicara tentang multilevel governance collaboration dalam implementasi blue ekonomi di Dinas Perikanan dan kelautan Bulukumba pada intinya bagaimana kegiatan kita itu berwawasan lingkungan, kemudian berkelanjutan produksinya dalam artian ekonomi masyarakat,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan bahwa Dinas Perikanan Bulukumba memiliki kearafian lokal, yang mana sesuai dengan misi bupati yaitu, mewujudkan masyarakat yang memiliki karakter kearifan lokal.
“Karena itu kami dengan misi kearifan lokal maka ada larangan menangkap ikan menggunakan kapal pere-pere, sebab pola penangkapan ini menggunakan lampuh 12 sampai 20.000 watt, akhirnya ikan – ikan kecil berkumpul atau baby fish akan ikut tertangkap, kami sudah punya kearifan lokal untuk mewujudkan blue ekonomi itu yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan,” jelasnya.
Diungkapkan juga bahwa daerah-daerah tetangga yang menggunakan pola penangkapan tersebut akhirnya berpindah ke Bulukumba disebabkan ikan mereka habis akibat dari blue ekonomi yang tidak dijalankan.
Kabid Penangkapan Dinas Perikanan Bulukumba Prof Yusli menyampaikan bahwa sebelum konsep ekonomi biru ada yang namanya konsep green ekonomi yang digagas oleh orang-orang kehutanan yang beriorientasi pada lingkungan.
Dimana orang sektoral menganggap bahwa green ekonomi terkait dengan pelestarian hutan dan blue ekonomi itu pelestarian lingkungan di bidang kelautan.
Menurut Prof Yusli hal itu tidak demikian karena ekonomi biru itu hanya upgrade saja dan berkelanjutan, green ekonomi itu lebih diarahkan bagaimana pembangunan itu tidak merusak lingkungan, ramah lingkungan, pembangunan seperti ini memunculkan pertarungan antara kepentingan ekonomi dan ekologi.
“Dari sisi ekonomi menganggap bahwa kita harus mengekstrak sumber daya sebesar-besarnya untuk kepentingan ekonomi, sementara dari sisi ekologi menganggap bahwa itu harus dilindungi, dilihat dari media seperti greenpeace setiap ada pembangunan pasti protes karena paradigma berpikir mereka menganggap pembangunan itu merusak, itulah prinsip green ekonomi,” paparnya.
Ia juga membeberkan ada dua kepentingan yang harus dikawinkan, maka muncullah blue ekonomi sebab green ekonomi ini tidak mampu menjawab tantangan zaman. Konsep blue ekonomi yang diterapkan di Dinas perikan Bulukumba saat ini adalah zero waste.
“Ini dikarenakan ada pertumbuhan ekonomi yang harus kita kejar blue ekonomi secara aplikatif yaitu zero waste yang betul – betul segala sesuatu yang diekstrasi tidak meninggalkan sampah atau limbah, zero waste ini dialihkan pada ekonomi, blue ekonomi akan diarahkan pada pemamfaatan sumber daya, pertumbuhan ekonomi tetap berjalan dan ekstrasi pelindungan sumber daya tetap jalan, itulah win solution yang ditawarkan dari konsep blue ekonomi,” ungkapnya.
Prof Yusli juga menuturkan bahwa hal pertama yang dapat dilakukan yaitu bagaimana kemudian jika telah sampai di pelabuban perikanan itu tidak ada yang terbuang, ikan yang tidak bisa dibeli oleh pengusaha kita simpan untuk dijadikan pakan.
“Bahkan sisik ikanpun bisa dimamfaatkan dari konsep blue ekonomi itu sebagai suplemen obat karena ternyata mengandung kalsium, salah satu penerepannya misalnya di Muara Baru yang dilakukan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan, itulah zero waste tidak ada yang terbuang, dan juga air limbah ikan itu bisa dimamfaatkan sebagai pupuk urea karena mengandung nitrogen yang tinggi, sehingga pola itu menghasilkan ekonomi dan juga tidak mencemari lingkungan, berbeda dengan green ekonomi yang hanya sampai pada titik tidak mencemari lingkungan, kalau blue ekonomi tidak mencemari lingkungan dan tetap menghasilkan sumber ekonomi baru,” jelasnya.
Ia juga mengatakan bahwa pembangunan berkelanjutan di sektor perikanan Bulukumba menjanlakan dua program untuk tetap menjaga sumber daya ikan di Bulukumba tetap melimpah. Pertama program seribu rompon yang diarahkan pada konserpasi, kedua program rumpon dasar.
“Kegiatan rumpon dasar ini memang dari tahun pertama sampai kelima belum pulih tetapi sudah bisa mengekstraksi ikan yang masuk, makanya kami selalu beranggapan bahwa ekonomi itu harus tetap melaju dan ekologi juga tetap bertahan. Selain dari kegiatan-kegiatan itu kami di Dinas Perikanan dalam upaya perlindungan juga pernah melakukan terubuh karang buatan dan pengawasan serta memberikan bantuan kepada nelayan berupa kapal, dan rumpon, karena keduanya harus seimbang antara pengawasan dan ekstrasi perlindungan sumber daya laut,” terang dari Prof Yusli.
Prof Yusli menambahkan, tantangan dalam penerapan blue ekonomi diantaranya terkait dengan anggaran dan kesadaran dari masyarakat serta belum adanya aturan yang mengatur persoalan pola tangkap kapal pere-pere.
“Kami terbatas dari sisi anggaran kemudian juga terkait dari kesadaran masyarakat itu sendiri, kemudian persoalannya belum ada aturan yang mengatur pola tangkap kapal pere-pere maka kami berinisiatif untuk itu dan melakukan penyuratan, pasalnya UU 23 tahun 2014 menyatakan bahwa kewenangan laut itu ada di provinsi tidak pada daerah,” ujarnya.
Ia juga mengatakan penerapan blue ekonomi yang berwawasan lingkungan mendorong potensi lapangan kerja bagi masyarkat pesisir.
“Potensi lapangan kerja di sektor perikanan salah satunya adalah saat laki-laki mencari ikan maka perempuannya yang membersihkan ikan dipelabuhan perikanan,” jelas Prof Yusli.