December 17, 2025
JL. SULTAN ALAUDDIN NO. 259, Kec. Rappocini, Gunung Sari, Kota Makassar, 90221
BERITA UTAMA

Pakar Komunikasi Unismuh Makassar: Kasus Resbob Cermin Rapuhnya Etika di Ruang Digital

Muhammad Adimas Firdaus alias Resbob, cuplikan layar Instagram Resbob

UNISMUH.AC.ID, MAKASSAR — Kasus YouTuber Resbob yang menghina suku Sunda dan pendukung Persib Bandung menjadi cermin ketegangan ruang digital yang bisa menyulut konflik sosial.

Video siaran langsung Resbob yang berisi kata-kata bernada penghinaan terhadap identitas kelompok tertentu dengan cepat menyebar di media sosial dan memicu kecaman luas dari berbagai kalangan masyarakat.

Pernyataan yang dinilai bernuansa ujaran kebencian itu dilaporkan ke Direktorat Reserse Siber Polda Jawa Barat oleh perwakilan Viking Persib Club, yang menilai unggahan tersebut tidak hanya menghina komunitas suporter namun juga merendahkan martabat masyarakat suku Sunda secara umum.

Laporan resmi itu kemudian memicu respons aparat untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran pidana berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta ketentuan hukum lainnya.

Setelah sempat menjadi buronan dan berpindah tempat persembunyian di beberapa kota di Jawa Timur, Resbob—yang bernama asli Muhammad Adimas Firdaus Putra Nasihan—ditangkap oleh polisi di sebuah desa di Semarang, Jawa Tengah, lalu dibawa ke Mapolda Jawa Barat untuk pemeriksaan lebih lanjut atas kasus ujaran kebencian tersebut.

Ulasan Pakar Komunikasi

Dr Syukri, pakar komunikasi dan Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, menilai kasus Resbob memperlihatkan bagaimana ruang digital dapat berubah menjadi arena konflik berbasis identitas. “Dari perspektif komunikasi publik, ujaran penghinaan etnis merusak harmoni sosial karena menyerang identitas kolektif suatu kelompok,” ujarnya saat dihubungi di Kampus Unismuh Makassar, Rabu, 17 Desember 2025.

Menurut Syukri, ujaran kebencian bukan hanya perkara etika berbahasa. Ia dapat memicu permusuhan, diskriminasi, bahkan kekerasan terhadap kelompok yang ditargetkan. Akibat lanjutan yang kerap muncul ialah menguatnya stereotip dan prasangka, melebar­nya jarak sosial, serta melemahnya kepercayaan antarkelompok. “Kalau dibiarkan, ini menghambat upaya membangun masyarakat yang inklusif,” kata Dosen Ilmu Komunikasi Unismuh Makassar itu.

Ruang digital Percepat Penyebaran kebencian

Syukri menekankan karakter media sosial yang serba cepat, viral, dan minim penyaringan membuat konten provokatif mudah menyebar sebelum sempat dikoreksi. Ia juga menyoroti gejala echo chamber, ketika pengguna hanya berinteraksi dengan kelompok sependapat sehingga bahasa kasar dan umpatan bernada SARA cenderung dinormalisasi.

“Platform digital itu ibarat pisau bermata dua—bermanfaat, tetapi juga bisa jadi lahan subur ujaran kebencian,” ujar Alumni Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Bandung itu.

Dalam situasi semacam itu, kontrol diri pengguna mudah turun, sementara etika digital belum kokoh. Ia menilai kampanye bermedia sosial sehat perlu dibarengi pendidikan literasi yang nyata di sekolah, kampus, dan komunitas.

Konsekuensi Hukum

Syukri mengingatkan bahwa jejak digital dapat berujung pidana. Dalam kasus ujaran kebencian berbasis SARA, ketentuan yang kerap dikenakan ialah Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang ITE, yang mengatur larangan menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan. Ancaman pidananya maksimal 6 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar.

Selain itu, penghinaan terhadap golongan di muka umum juga diatur dalam Pasal 156 KUHP, dengan ancaman pidana penjara paling lama 4 tahun.

“Banyak warganet tidak sadar bahwa unggahan digital bisa berujung proses hukum,” kata Syukri.

Syukri menilai etika komunikasi semestinya menjadi landasan berekspresi di ruang digital, terlebih bagi figur publik dan kreator konten yang memiliki pengaruh besar.

“Mereka dituntut menjadi teladan dalam berbahasa yang santun, inklusif, dan menghargai keberagaman,” ujar Dosen Ilmu Komunikasi Unismuh Makassar tersebut.

Ia menegaskan kebebasan berpendapat dijamin, tetapi bukan tanpa batas. Kritik sah disampaikan, namun tidak dengan merendahkan martabat suku, agama, atau golongan tertentu. Status sebagai figur publik, kata Syukri, juga tidak membuat seseorang kebal hukum. Risiko sosialnya pun nyata: konten dapat diturunkan, akun dibatasi, reputasi runtuh, dan persoalan melebar menjadi konflik.

Kasus ini, menurut Syukri, turut menunjukkan masih lemahnya literasi komunikasi lintas budaya. Kurangnya empati dan sensitivitas budaya membuat sebagian orang gagal memahami dampak ucapan terhadap kohesi sosial. “Keberagaman itu kekuatan, bukan alasan saling melecehkan,” ucapnya.

Ia mendorong institusi pendidikan memperkuat pendidikan karakter, pendidikan multikultural, serta literasi digital dan etika bermedia sosial secara terukur—bukan sekadar slogan. Pembelajaran itu, kata Syukri, perlu memperjelas batas-batas komunikasi di ruang digital sekaligus konsekuensi sosial dan hukumnya.

Cegah Eskalasi

Untuk mencegah eskalasi, Syukri mengusulkan tiga langkah. Pertama, komunikasi dialogis dan rekonsiliatif dengan melibatkan tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama untuk meredakan ketegangan. Kedua, memperkuat narasi tandingan melalui konten edukatif dan inklusif agar ruang digital tidak didominasi provokasi. Ketiga, penegakan hukum yang adil dan transparan, disertai edukasi publik agar masyarakat memahami batas berekspresi.

Pada akhirnya, kasus Resbob menjadi pengingat bahwa tantangan menjaga harmoni sosial kian kompleks di era digital. Ruang maya dapat menjadi medium mempererat kebinekaan, tetapi juga bisa menjadi pemantik perpecahan bila ujaran kebencian dibiarkan tumbuh.