Opini

Oleh: Amir Muhiddin
Dosen Fisip Unismuh Makassar
Wakil Ketua Dewan Pendidikan Sulawesi Selatan
Penggiat Forum Dosen

Pasca diumumkannya anjuran Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jumat (20/32020) untuk mengganti salat Jumat dengan salat duhur di rumah guna menanggulangi wabah virus Corona masyarakat Muslim Indonesia nampaknya terpecah menjadi dua.

Ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju. Yang setuju menerima ajakan itu dan salat Jumat ditiadakan, diganti dengan salat berjamaah duhur di mesjid seperti yang dilaksanakan Mesjid Istiqlal di Jakarta dan Mesjid Raya di Makassar.

Yang tidak setuju, tetap melaksanakan salat Jumat dan tidak menghiraukan anjuran MUI yang disampaikan oleh Ketua Dewan Pertimbangan MUI Prof. Din Syamsuddin.

Mereka yang taat pada anjuran MUI berkeyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta segalanya, yakin bahwa Corona itu adalah ciptaan Tuhan, tetapi keputusannya berbeda dengan yang tidak taat.

Mereka tetap berihtiar atau berusaha untuk menjauhi kemungkinan-kemungkinan buruk, termasuk kemungkinan tertular atau menularkan virus Corona.

Qadariah dan Jabariah.

Kelompok masyarakat yang mengikuti anjuran MUI disebut dengan Qadariah, sementara Kelompok masyarakat yang menolak disebut dengan Jabariah.

Dengan begitu, perilaku masyarakat menghadapi kebijakan pemerintah dan MUI terhadap virus Corona tidak lain adalah pertarungan antara dua aliran yaitu aliran Qadariah dan aliran Jabariah.

Dua-duanya sejak lama ada dikalangan ummat Islam, tidak terkecuali di Indonesia dan sangat berpengaruh pada masyarakat muslim, baik dalam berpikir, bersikap dan berperilaku.

Qadariah secara leksikal berasal dari bahasa Arab yaitu qadara artinya kemampuan dan kekuatan, sedangkan secara gramatikal Qadariah diartikan sebagai aliran yang percaya bahwa segala tindakan atau perbuatan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan.

Sedang Jabariah adalah kebalikan dari itu, bahwa perilaku manusia segalanya ditentukan oleh Tuhan. Secara historis Jabariah adalah sebuah madzhab yang muncul bersamaan dengan kehadiran Qadariyah di daerah Kurasan, adalah aliran dalam ilmu kalam yang berpandangan bahwa segala yang wujud di alam semesta, termasuk manusia, terikat pada Qadrat dan Irodat Allah SWT semata.

Jabariah adalah pemahaman yang mengatakan bahwa amal shalih bukanlah sebab masuknya kita ke surga dalam segala hal, dan sebaliknya adalah Qadariyah, yang meyakini bahwa surga adalah bayaran dari amal kita secara mutlak.

Dan kedua faham ini bathil, bahwa kita beramal dan Allah SWT menentukan diterimanya amal itu atau tidak.

Tentunya kita tak berpangku tangan, tidak pula mengandalkan amal untuk memastikan masuk surga dan bebas dari neraka.

Jabariyah adalah sebuah ideologi dan sekte bidah di dalam akidah yang muncul pada abad ke-2 hijriah di Khurasan.

Jabariyah memiliki keyakinan bahwa setiap manusia terpaksa oleh takdir tanpa memiliki pilihan dan usaha dalam perbuatannya.

Tokoh utamanya adalah Ja’ad bin Dirham dan Jahm bin Shafwan. Menurut Asy-Syahrastani 548 H/1153 M, Jabariyah adalah paham yang menafikan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah.

Artinya, manusia tidak punya andil sama sekali dalam melakukan perbuatannya, Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.

Keyakinan Jabariyah bertolak belakang dengan keyakinan Qadariyah namun keduanya dikatakan menyimpang dari akidah Ahlussunnah yang berada dipertengahan, karena menurut akidah Ahlussunnah mengenai takdir bahwa setiap manusia memiliki pilihan dan kebebasan dalam menentukan kehendak.

Manusia diperintahkan untuk berusaha yakni diperintah berbuat baik dan dilarang berbuat kejahatan, dijanjikan pahala atau diancam siksa atas konsekuensi dari perbuatannya, sementara apapun yang akan dilakukannya sudah ditetapkan (telah tertulis) dalam takdirnya, yang mana setiap makhluk tidak pernah mengetahui bagaimana takdirnya (baik atau buruk) kecuali setelah terjadinya (berlakunya) takdir itu.

Resistensi.

Negara-negara atheis, baik di Barat maupun di Timur, terutama di China, soal Qadariah dan Jabariah tentu saja bukan ranah mereka sebab dasar berpikirnya adalah “Rasio”.

Mereka menggunakan akal sehat (commonsence), bahwa wabah virus corona berasal dari sebab akibat (causalitas) dan perlu dilawan dengan pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Mereka mempercayai bahwa kehidupan berjalan secara natural, tanpa ada pengaruh supranatural. Virus Corona dapat dilihat, logis dan bisa dicari jalan keluarnya melalui riset berbasis ilmu pengetahuan dan teknlogi.

Mereka tidak memerlukan penguasa yang bernama Tuhan yang disebut membatasi kebebasan untuk melalui ekperimen.

Faham Atheis bisa menjelaskan berbagai persoalan dunia melalui ilmu pengetahuan dan cara berfikir yang logis. Bagi mereka, faham agama hanya menginformasikan apa yang harus di lakukan dan bukan bagaimana melakukannya.

Sehingga buat mereka hal ini membanggakan karena mereka bebas menggali semua bidang keilmuan dengan menjunjung kebebasan berfikir.

Di China yang kebanyakan warganya ateis dengan sistem komunisme, sangat mudah diatur, begitu pemerintahnya mengelurkan kebijakan Luck down, warganya secara serentak melaksanakan kebijakan tersebut.

Mereka yang membangkang, baik peribadi maupun kelompok akan ditindak dan dengan sistem sentralisasi semua provinsi dan daerah ikut dengan kebijakan pemerintah pusat.

Perguruan tinggi, lembaga-lembaga riset, dan ilmuan Cina dengan konsentrasi yang tinggi melakukan penelitian untuk menemukan vaksin yang bisa melawan virus corona dan hasilnya sangat memuaskan.

Ummat Islam, termasuk di Indonesia, pemerintah dan perguruan tinggi serta para ahli dibidang kesehatan, sibuk mengurus bagaimana menangani mereka yang sudah terindikasi, bagaimana memproteksi warga dan tentu saja bagaimana perekonomian tetap berjalan norma sehingga kehidupan tetap normal sebagaimana mestinya.

Namun dibalik itu semua, nyaris waktu kita habis, hanya mengurus mereka yang berbeda pendapat antara Qadariah dan jabariah. Fenomena seperti ini tentu saja merupakan resistensi bagi kita pemeluk agama, terutama islam dan ke depan perlu dicari solusinya agar, sekurang-kurangnya bisa menemukan format seperti apa yang bisa mempertemukan keduanya.

Sebab kalau tidak maka agama bisa saja disebut sebagai penghambat dalam mengambil keputusan dan melaksanakan keputusan itu dengan cepat tanpa kecuali. Mari kita bersatu melawan virus Corona.

By admin

Leave a Reply