UNISMUH.AC.ID, MAKASSAR — Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas) berencana memberlakukan pembatasan akses media sosial bagi anak mulai Maret 2026. Aturan tersebut mengatur penundaan akses akun media sosial untuk anak usia 13–16 tahun, disertai pendampingan orang tua serta penilaian risiko oleh platform digital.
Kebijakan ini ditujukan sebagai upaya negara melindungi anak dari risiko di ruang digital, mulai dari paparan konten tidak layak hingga dampak psikologis. Sejumlah kalangan menyambut positif arah kebijakan itu, namun menekankan pentingnya pendekatan edukatif dalam implementasi agar pembatasan tidak berujung pada praktik yang kontraproduktif.
Ketua Program Studi Bimbingan Konseling Pendidikan Islam (BKPI) Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Rukiana Novianti Putri, S.Psi., M.Psi., Psikolog, menilai pembatasan usia dalam PP Tunas sejalan dengan prinsip psikologi perkembangan anak, khususnya pada fase remaja awal.
“Pada usia 13–16 tahun, fungsi eksekutif seperti pengendalian impuls, penilaian risiko, dan pengambilan keputusan jangka panjang masih berkembang dan belum matang sepenuhnya,” ujar Rukiana melalui pesan WhatsApp, Rabu, 31 Desember 2025.
Ia menjelaskan, remaja pada fase ini juga cenderung sensitif terhadap penerimaan sosial dan validasi dari teman sebaya. Media sosial, dengan logika perbandingan yang kuat, dapat memperbesar kerentanan psikologis apabila diakses tanpa pendampingan memadai.
Menurut Rukiana, pembatasan akses sebagaimana diatur dalam PP Tunas dapat menjadi langkah protektif untuk mencegah risiko seperti kecemasan, mudah marah, dan perasaan rendah diri akibat perbandingan sosial yang terus-menerus. Pembatasan juga dinilai berpotensi mengurangi paparan kekerasan verbal, konten seksual, ujaran kebencian, serta kecanduan digital yang berdampak pada kualitas belajar, tidur, dan relasi sosial anak.
Namun, ia mengingatkan efektivitas PP Tunas sangat bergantung pada cara penerapannya. Pembatasan yang dilakukan secara kaku tanpa penjelasan, kata dia, dapat memicu tekanan psikologis dan mendorong anak melanggar aturan secara tersembunyi.
“Pembatasan perlu dilakukan secara bertahap, edukatif, dan dialogis agar anak memahami tujuan perlindungan, bukan sekadar merasa dikontrol,” ujarnya.
Dalam konteks keluarga, Rukiana menekankan peran orang tua sebagai pendamping utama implementasi PP Tunas. Orang tua perlu membangun komunikasi terbuka, melibatkan anak dalam penyusunan aturan penggunaan gawai, serta memberi teladan penggunaan media digital yang sehat.
Adapun sekolah diharapkan memperkuat literasi digital berbasis karakter, termasuk regulasi emosi, empati digital, dan manajemen waktu layar. Kolaborasi sekolah, orang tua, dan tenaga profesional dinilai penting untuk mendeteksi serta menangani tanda-tanda awal kecanduan media sosial.
Rukiana berharap PP Tunas diposisikan sebagai instrumen perlindungan kesehatan mental dan tumbuh kembang anak, bukan semata kebijakan pelarangan. Ia juga mendorong pemerintah melibatkan psikolog, pendidik, dan orang tua dalam evaluasi serta penyempurnaan implementasi aturan agar adaptif terhadap realitas anak dan keluarga Indonesia.

