December 22, 2025
JL. SULTAN ALAUDDIN NO. 259, Kec. Rappocini, Gunung Sari, Kota Makassar, 90221
BERITA KAMPUS BERITA UTAMA

Refleksi Hari Ibu, WR II Unismuh: Peran yang Tak Pernah Usai

Wakil Rektor II Unismuh Makassar, Dr. Hj. Ihyani Malik, M.si.

UNISMUH.AC.ID MAKASSAR — Bagi Dr. Ihyani Malik, M.Si., Hari Ibu bukanlah penanda yang berdiri sendiri dalam kalender. Ia lebih menyerupai jeda reflektif, sebuah momentum untuk mengingat sesuatu yang sejatinya berlangsung tanpa henti: peran keibuan.

“Dalam konsep agama kita, ibu itu dimuliakan setiap saat. Bukan hanya pada satu tanggal,” ujar Wakil Rektor II Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar itu, Senin, 22 Desember 2025.

Karena itulah, baginya, Hari Ibu hanyalah penanda simbolik. Esensinya jauh melampaui seremoni tahunan. Setiap hari, kata dia, semestinya adalah Hari Ibu—hari untuk berbakti, hari untuk menghadirkan hormat dan kasih sayang yang tidak bersyarat.

Sebagai pimpinan universitas yang mengelola urusan strategis, dari SDM, keuangan, hingga administrasi, dan sekaligus seorang ibu dalam kehidupan keluarga, Ihyani memaknai peran tersebut dengan kesadaran penuh akan waktu. Ia bercerita, pilihan-pilihan hidupnya sejak awal disusun dengan pertimbangan keibuan sebagai poros utama.

“Ketika anak-anak masih kecil, saya membatasi diri mengambil pekerjaan. Fokus utama saya saat itu adalah mendidik mereka,” tuturnya. Baginya, rumah adalah madrasah pertama, dan ibu adalah pendidik paling awal sekaligus paling menentukan.

Waktu kemudian berjalan. Anak-anak tumbuh, menjadi mandiri, dan mengambil peran masing-masing dalam hidup mereka. Namun, bagi Ihyani, perubahan fase itu tidak pernah mengubah hakikat perannya sebagai ibu. “Apa pun posisi anak-anak, setinggi apa pun jabatan mereka, mereka tetap anak saya. Dan saya tetap ibunya,” katanya pelan, namun tegas.

Di masa awal kehidupan anak, peran ibu hadir dalam bentuk paling dasar: menyuapi, menidurkan, menemani setiap kebutuhan fisik dan emosional. Seiring waktu, peran itu bertransformasi. Tidak lagi soal makan dan tidur, melainkan menjadi teman berbincang, tempat berbagi cerita, ruang diskusi yang hangat namun tetap berjarak oleh otoritas kasih seorang ibu.

Perubahan zaman, menurut Ihyani, tidak menggeser esensi peran ibu. Yang berubah adalah lingkungan. Teknologi, katanya, justru memberi ruang baru bagi perempuan untuk menjalankan peran ganda tanpa harus meniadakan salah satunya.

“Sekarang, pekerjaan bisa dilakukan dari mana saja. Komunikasi dengan anak-anak juga bisa tetap terjaga lewat telepon atau video call,” ujarnya. Ia mengakui, teknologi telah menjadi penopang penting dalam menjaga keseimbangan antara ruang publik dan ruang domestik.

Di sela-sela kesibukan kantor, ia masih bisa mengangkat telepon anak-anaknya, berdiskusi, atau sekadar memastikan kabar. Malam hingga pagi hari tetap ia maknai sebagai ruang keluarga, sebelum masing-masing kembali pada perannya di siang hari.

Namun, kemudahan itu tidak datang tanpa kesadaran. Ihyani menekankan pentingnya kesiapan mental sejak awal. “Sejak sebelum menikah, seseorang seharusnya sudah mempersiapkan diri untuk menjadi seorang ibu,” katanya. Bagi dia, keibuan bukan peran yang muncul tiba-tiba, melainkan proses panjang yang menuntut kesadaran, komitmen, dan kesiapan.

Di Hari Ibu ini, Ihyani tidak menawarkan romantisme berlebihan. Ia justru mengajak untuk kembali pada makna yang paling dasar: menghargai peran ibu sebagai fondasi kehidupan, baik di keluarga maupun di masyarakat. Sebab, sebagaimana ia yakini, ibu bukan hanya melahirkan manusia, tetapi juga menumbuhkan nilai, karakter, dan masa depan.

Dan pada akhirnya, Hari Ibu bukanlah tentang perayaan sesaat, melainkan tentang pengakuan bahwa peran keibuan, dalam bentuk apa pun, adalah kerja panjang yang tidak pernah benar-benar selesai.