November 14, 2025
JL. SULTAN ALAUDDIN NO. 259, Kec. Rappocini, Gunung Sari, Kota Makassar, 90221
BERITA UTAMA

Guru Besar Unismuh Makassar Ulas Hubungan Fisika dan Etika Kepemimpinan Bugis

UNISMUH.AC.ID, MAKASSAR – Fisika, yang selama ini dikenal sebagai ilmu tentang gaya, energi, dan cahaya, ternyata dapat menjadi cermin untuk memahami etika kepemimpinan. Prinsip keseimbangan yang menjaga sistem tetap stabil, usaha yang melahirkan energi, hingga cahaya yang selalu menunjukkan kejujuran, membuka cara pandang baru bahwa nilai-nilai moral sejatinya juga bekerja mengikuti hukum-hukum alam.

Pandangan inilah yang ditegaskan Prof. Dr. Nurlina, S.Si., M.Si., Guru Besar Fisika Unismuh Makassar, ketika ia menjelaskan bagaimana pappaseng Bugis dapat dibaca melalui konsep-konsep dasar fisika dalam perbincangan budaya “Pappaseng Ri Elompugi” Episode 11 yang digelar TVRI Sulawesi Selatan bekerja sama dengan Unismuh Makassar, Jumat, 14 November 2025. Program ini akan disiarkan TVRI Sulsel pada Sabtu, 15 November 2025.

Selain Prof Nurlina, Narasumber utama dalam program tersebut adalah Prof Andi Sukri Syamsuri yang kerap disapa Prof Andis. Narasumber lainnya, yakni Dr Jumiati Lira, dan Dr Muhammad Arief Muhsin.

Fisika Budaya

Dalam acara bertema “Etika Kepemimpinan: Menuntun dengan Akal dan Hati” itu, Prof. Nurlina tampil dengan pendekatan yang mengejutkan sekaligus menyegarkan. Ia membawa fisika keluar dari ruang laboratorium, lalu memadukannya dengan pappaseng—amanah moral Bugis yang diwariskan leluhur.

Menurut dia, konsep kesetimbangan dalam fisika dapat menjadi gambaran bagaimana seorang pemimpin menjaga harmoni antara kekuasaan dan tanggung jawab. “Suatu sistem menjadi stabil ketika gaya-gaya di dalamnya berada dalam keadaan seimbang. Pemimpin pun harus mampu menjaga keseimbangan yang sama dalam dirinya dan dalam masyarakat,” ujarnya.

Pada titik lain, ia menyinggung hubungan antara energi dan etos kerja. Dalam pappaseng, nilai reso’ merujuk pada kegigihan. Prof. Nurlina membacanya sebagai padanan dari konsep energi dan usaha dalam fisika. “Energi tak lahir dari keinginan, tetapi dari kerja. Begitu pula kepemimpinan yang bermartabat,” katanya. Ia juga menggunakan sifat cahaya sebagai metafora kejujuran. Cahaya yang lurus diibaratkannya sebagai gambaran ada tongeng’, nilai integritas yang amat dijunjung masyarakat Bugis.

Pendekatan semacam itu membuat siswa atau masyarakat, menurut Nurlina, dapat melihat fisika sebagai bagian dari kehidupan. Ia menyebut latto-latto, mattojang, kacaping, dan gandrang sebagai contoh alat budaya yang dapat membantu siswa memahami konsep tumbukan, gelombang suara, atau gerak harmonik dengan cara yang lebih dekat dengan keseharian mereka.

Etika Kepemimpinan Bugis

Sementara itu, Narasumber Utama Prof Andis membuka dialog dengan penjelasan mengenai dasar-dasar etika kepemimpinan Bugis. Ia mengurai nilai siri’, lempu’, dan sipakatau sebagai tiga pilar yang sejak lama menuntun perilaku para pemimpin lokal.

Andis mengutip pappaseng klasik, “Naiya raja, dé’na naparennuangi tanaé, rekko dé’na napalappasengi atinna”. (Pemimpin tidak akan menyejahterakan negeri jika ia tidak menyejukkan hatinya sendiri).

Menurut Prof Andis, inti kepemimpinan Bugis adalah harmoni antara nalar dan nurani. “Pemimpin harus mampu menimbang dengan akalnya, tetapi memutuskan dengan hati yang jernih,” ucapnya.

Prof Andis juga menyoroti relevansi nilai-nilai Bugis dengan kondisi kepemimpinan modern. Dalam lanskap politik yang dipenuhi tekanan, menurutnya, pappaseng memberi panduan untuk kembali pada prinsip dasar: keadilan, kebijaksanaan, dan keberanian moral.

Dalam paparan itu, Prof Andis juga menyinggung hubungan antara akal dan hati. Ia menilai keduanya tidak dapat dipisahkan dalam tindakan kepemimpinan, dan pappaseng justru menjadi kompas moral yang membantu memadukan keduanya.

Acara yang memadukan dokumentasi budaya, teater monolog, musik elong, dan dialog akademik itu berlangsung dalam suasana hangat.