UNISMUH.AC.ID, MAKASSAR – Dosen Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Prof Rukli, dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Ranting Ilmu Kepakaran Pendidikan Evaluasi Pendidikan dalam Rapat Senat Terbuka Luar Biasa, di Balai Sidang Muktamar ke-47 Kampus Unismuh Makassar, Senin, 29 September 2025.
Rukli dikukuhkan sebagai guru besar bersama empat dosen Unismuh lainnya, yaitu Prof Kasifah (Guru Besar dalam Ranting Ilmu Kepakaran Kesuburan Tanah Pertanian dan Lingkungan), Prof Agustan (Guru Besar dalam Ranting Ilmu Kepakaran Pendidikan Matematika), Prof Hartono Bancong (Guru Besar dalam Ranting Ilmu Kepakaran Eksperimen Pembelajaran Fisika), dan Prof Asriati (Guru Besar dalam Ranting Ilmu Kepakaran Ilmu Ekonomi).
Acara pengukuhan guru besar dihadiri Rektor Unismuh Makassar Dr Abdul Rakhim Nanda, Wakil Rektor I Prof Andi Sukri Syamsuri, Wakil Rektor II Dr Ihyani Malik, Wakil Rektor III Dr KH Mawardi Pewangi, Ketua BPH Prof Gagaring Pagalung, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel Prof Ambo Asse, serta seribuan dosen, sivitas akademika, tamu dan undangan, termasuk Kabag Umum LLDikti Wilayah IX Sultanbatara dan sejumlah pimpinan perguruan tinggi.
Kelima guru besar yang dikukuhkan tersebut masing-masing membawakan orasi ilmiah. Prof Rukli membawakan orasi ilmiah berjudul: “Inovasi Taksiran Tingkat Kesukaran Menuju Asesmen Adaptif as Learning Berbasis Artificial Intelligence untuk Meningkatkan Literasi Digital bagi Anak Learning Disability Berkarakter Kompetensi Global.”
Prof Rukli dalam orasi ilmiahnya mengatakan, di tengah derasnya arus digitalisasi yang menyentuh aspek kehidupan, literasi digital bukan lagi menjadi pengetahuan tapi telah menjadi keterampilan dasar yang mutlak dibutuhkan setiap individu tanpa kecuali.
“Di sekolah, di rumah, bahkan dalam lingkungan sosial, anak-anak terus bersinggungan dengan berbagai inovasi teknologi digital. Namun, sayangnya, tidak semua anak memiliki akses dan kompetensi yang setara dalam menyerap serta memanfaatkan teknologi tersebut. Ada anak learning disability (LD) yang kerap kali tertinggal dalam proses adaptasi digital,” kata Rukli.
Anak LD (learning disability), katanya, seringkali menghadapi hambatan dalam memahami instruksi berbasis teks digital, menavigasi aplikasi pembelajaran, atau bahkan sekadar memusatkan perhatian dalam interaksi daring.
“Keterbatasan ini memerlukan pendekatan pendidikan yang lebih adaptif, bukan sekadar pemberian materi yang sama dengan anak-anak lain,” ujar Rukli.
Kajian di negara berkembang menunjukkan status disabilitas sangat berkorelasi dengan kemiskinan (Filmer, 2008; Bank L & Pollack, 2014; Bella & Dartanto, 2016). Namun sayangnya, walaupun telah banyak aturan dan program pemerintah dalam memberi akses kepada anak LD namun dampaknya masih terbatas, misalnya tahun 2018 ada program Indonesia Pintar namun kurang tepat sasaran (Prihatiningtyas, 2022).
Padahal, kata Rukli, kesenjangan digital yang mereka alami tidak hanya bersifat teknis, melainkan juga bersifat struktural, sosial, bahkan psikologis yang berdampak pada taraf kemiskinan masa depan sebagai generasi bangsa. Hal ini menciptakan urgensi yang tidak bisa kita abaikan lagi.
“Tanpa intervensi yang tepat, anak dengan LD berisiko terpinggirkan dua kali yakni keterbatasan kognitif dan sistem yang tidak adaptif terhadap kebutuhan mereka,” tandas Rukli.
Penguasaan literasi digital, lanjutnya, tidak boleh menjadi hak istimewa, melainkan harus menjadi hak dasar.
“Ini adalah panggilan moral sekaligus tantangan strategis bagi dunia pendidikan kita,” tegas Rukli.
Dia mengatakan, anak LD membutuhkan model pembelajaran dan asesmen yang disesuaikan dengan cara mereka memahami dan merespons informasi. Tanpa itu, mereka akan selalu menjadi penonton dalam kemajuan teknologi, bukan pelaku yang ikut menikmati manfaatnya tapi malah jadi korban digitalisasi.
“Kita harus menyadari bahwa kesetaraan akses terhadap literasi digital adalah prasyarat utama menuju pendidikan yang adil. Bukan saatnya menempatkan anak LD dalam posisi ‘menyesuaikan diri’ terhadap sistem yang tidak dirancang untuk mereka. Justru sistemlah yang harus bergerak untuk lebih inklusif, lebih responsif terhadap keanekaragaman cara belajar dan cara memahami,” papar Rukli.
Setiap anak berhak untuk mendapatkan pendidikan yang bermakna, relevan, dan sesuai dengan kebutuhannya, termasuk dalam hal literasi digital. Artinya, kesetaraan dalam hal ini bukan berarti memberikan perlakuan yang sama, melainkan memberikan perlakuan yang sesuai dan adil.
“Dalam konteks itulah, pengembangan model asesmen dan pembelajaran yang bersifat adaptif menjadi sangat mendesak. Model seperti ini dapat membantu anak-anak dengan LD untuk belajar sesuai dengan ritme dan cara terbaik mereka. Artinya perlu ada inovasi yang adaptif as learning terkait tingkat kesukaran anak LD,” kata Rukli.
Jenjang Pendidikan
Lahir di dusun Cacaleppeng, Lajoa, Soppeng, pada 02 Maret 1968, Rukli adalah anak dari pasangan Dawi bin Hajja, seorang pensiunan legiun veteran, dan Sanang binti Talibbe, ibu rumah tangga yang sarat nilai hidup.
Di tengah kehidupan kampung yang bersahaja dan jauh dari hiruk-pikuk kota, ia tumbuh dengan nilai-nilai sipakatau, sipakainge, dan sipakalebbi yang menjadi etika hidup masyarakat Bugis.
Jenjang pendidikan dasarnya ia lalui di SDN 85 Cacaleppeng, kemudian ke SMPM Lajoa, dan SMAN Cangadi, sebelum melangkah ke dunia perguruan tinggi di IKIP Ujung Pandang, menekuni Pendidikan Matematika.
Ia menyelesaikan D3 pada 1989 dan S1 pada 1992. Tak berhenti di sana, Rukli meneruskan pendidikan S2 di IKIP Yogyakarta (1995–1998) dalam bidang Penelitian dan Evaluasi Pendidikan.
Tak puas dengan satu gelar master, ia juga kuliah S2 Ilmu Komputer di UGM (2008–2010) dan S3 di Universitas Negeri Yogyakarta, menyelesaikan disertasi tentang sistem pakar dalam tes adaptif berbasis fuzzy pada 2012.