UNISMUH.AC.ID, MAKASSAR – Episode Ketujuh acara budaya di TVRI Sulsel, yakni “Pappaseng ri Elompugi” mengangkat tema “Harga Diri dan Martabat: Elong ri Ati To Malebbi”. Episode ketujuh ini tayang pada Sabtu 16 Agustus 2025.
Acara ini diinisiasi Guru Besar Ilmu Linguistik, yang juga merupakan Wakil Rektor I Unismuh Makassar, Prof Andi Sukri Syamsuri. Ia juga menjadi narasumber utama dalam setiap episode. Pada episode ketujuh, acara ini menghadirkan beberapa narasumber pendamping, yakni Prof Eny Syatriana, Dr Muhammad Agus, dan Dr Aco Karumpa. Ketiganya merupakan dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unismuh Makassar.
Nilai martabat dalam budaya Bugis tidak diwariskan begitu saja dari leluhur, melainkan lahir dari perilaku, tutur kata, dan sikap hidup. Pappaseng menegaskan, “Rebba sipatokkong, mali siparappe, sirui menre tessirui no’no” yang bermakna saling menopang ketika jatuh, membantu ketika hanyut, dan mendorong naik tanpa menjatuhkan.
Menurut Prof Eny Syatriana, martabat hadir ketika manusia menjaga kehormatan sekaligus menolak merendahkan orang lain. “Martabat sejati lahir dari kejujuran dan rasa malu berbuat salah,” ujar Guru Besar Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unismuh Makassar itu.
Diskusi menyoroti tafsir pappaseng tentang martabat, yang mencakup tanggung jawab kepada komunitas, keluarga, dan leluhur. Siri’ dipandang sebagai tanda orang baik, sedangkan rasa malu menjadi pagar agar tidak tergelincir pada kesalahan.
Namun, menjaga martabat di era digital tidak mudah. Popularitas kerap menggeser nilai siri’. “Kita menyaksikan anak muda lebih sibuk mengejar like dan followers ketimbang menjaga kehormatan diri,” kata Eny.
Eny juga menyoroti perempuan Kajang sebagai simbol keteguhan nilai. Mereka menjalani hidup sederhana, kamase-masea, dan menempatkan alam sebagai bagian dari diri. Perempuan Kajang diyakini menjadi pagar nilai di tengah arus modernitas yang kian terbuka.
“Keteguhan perempuan Kajang bukan romantisme masa lalu, melainkan manifesto hidup masa kini. Kehormatan dan kesetiaan pada nilai jauh lebih penting dibanding jumlah pengikut di media sosial,” tutur Eny dalam refleksinya.
Dalam ranah pendidikan, nilai siri’ dan getteng (keteguhan pendirian) juga relevan. Perguruan tinggi didorong mengintegrasikan nilai lokal ke dalam kurikulum, membangun karakter mahasiswa lewat proyek sosial, hingga mencetak kode etik berbasis budaya. “Siri’ itu, kalau hilang, lebih baik mati daripada malu,” demikian pepatah Bugis yang kembali digaungkan.
Kepemimpinan perempuan turut mendapat sorotan. Menurut pappaseng, martabat lahir dari tutur dan tindakan yang mulia—male bbi. Pemimpin yang malebbi tidak hanya dihormati, tapi juga meninggalkan warisan nilai yang abadi.
“Pemimpin perempuan yang malebbi berpikir sebelum bertindak, berbicara dengan empati, dan melihat jabatan sebagai amanah, bukan kuasa,” jelas Prof. Eny.
Ia mengutip pesan Bugis: “Aja mu depa-depanna rilaleng, tettea gau’mu, lebbimu napala siri’mu” yang bermakna jangan tergelincir dalam ucapan, teguhkan tindakanmu, karena kebajikan adalah kehormatanmu.
Martabat, menurut para narasumber, bukan sekadar status sosial. Ia hadir dalam caradde’na atinna—jernihnya hati dan bersihnya niat. Inilah yang membedakan martabat dari kesombongan.
Elompugi kembali menegaskan, harga diri adalah pagar moral, bukan untuk meninggikan diri. “Siri’ na pesse, iyare mmuakkai tau” – siri’ dan empati yang menjadikan manusia sebagai manusia.
Elompugi Episode 7 pun berakhir dengan pesan mendalam: martabat adalah warisan yang harus dijaga, bukan hanya untuk individu, melainkan untuk bangsa yang berbudaya.