August 17, 2025
JL. SULTAN ALAUDDIN NO. 259, Kec. Rappocini, Gunung Sari, Kota Makassar, 90221
OPINI KAMPUS

Kemerdekaan 80 Tahun: Dari Simbol Upacara Menuju Substansi Tanggung Jawab

Oleh: Akbar Aba, S.Pd., M.Ed
(Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Unismuh Makassar)

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya,” ujar Soekarno
Namun, menghormati tidak cukup hanya dalam kata-kata. Tidak cukup dengan mengheningkan cipta setiap 17 Agustus atau menggantungkan bendera merah putih di teras rumah. Sebab, kemerdekaan Indonesia bukan sekadar catatan sejarah atau narasi dalam buku teks. Ia lahir dari keberanian kolektif yang ditulis dengan peluh, air mata, dan darah para pejuang. Kemerdekaan bukanlah hadiah dari penjajah, melainkan hasil perjuangan rakyat Indonesia yang rela menukar hidup demi masa depan bangsa. Maka, cara terbaik untuk menghormati para pahlawan bukan sekadar mengenang, melainkan meneruskan perjuangan mereka dengan kontribusi nyata di bidang apa pun kita berdiri.

Dari Peluh ke Proklamasi: Warisan yang Berdarah

Kemerdekaan Indonesia bukan semata produk perubahan geopolitik global pasca-Perang Dunia II, tetapi hasil dari keteguhan panjang yang dibangun oleh generasi demi generasi. Selama 350 tahun penjajahan, luka sosial dan ekonomi membekas dalam-dalam. Namun dari luka itu lahirlah perlawanan: Perang Diponegoro (1825–1830), Perang Aceh (1873–1904), hingga perlawanan rakyat Surabaya pada 10 November 1945 yang menewaskan lebih dari 6.000 pejuang. Semua itu berpuncak pada Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan sekadar perayaan, tapi pernyataan bahwa bangsa ini siap berdiri di atas kaki sendiri.

Generasi Muda: Pewaris, Bukan Penonton

Saat usia Republik menginjak 80 tahun, tongkat sejarah berpindah ke tangan kita generasi yang lahir tanpa bunyi meriam, tapi hidup di tengah ketidakpastian global. Menurut BPS 2024, ada lebih dari 65 juta penduduk Indonesia berusia 16–30 tahun. Ini bukan hanya statistik, tetapi potensi perubahan yang nyata.
Kita menyaksikan anak-anak muda Indonesia bersinar di bidang teknologi, energi terbarukan, hingga panggung seni dunia. Film Before, Now & Then dan Yuni mencuri perhatian di Festival Film Berlin dan Sundance. Tapi potensi tidak akan berubah menjadi prestasi jika tidak diberi ruang, diarahkan, dan dilibatkan.

Merdeka Tapi Belum Selesai

Kemerdekaan bukan garis finish. Ia adalah start baru dari medan juang yang berubah bentuk. Lawan kita kini bukan lagi tentara kolonial, tapi ketimpangan, intoleransi, kerusakan lingkungan, dan degradasi etika publik.
Meski Indonesia menjadi demokrasi terbesar ketiga di dunia, tantangan masih banyak. Indeks demokrasi Indonesia tahun 2023 tercatat 6.71 (kategori flawed democracy, The Economist Intelligence Unit). Ini alarm, bukan kecaman. Kita harus merespons dengan perbaikan terus-menerus mulai dari supremasi hukum, kebebasan sipil, hingga integritas pemilu.

Kemerdekaan Adalah Tanggung Jawab

Dalam laporan World Economic Forum (2019), Indonesia berada di peringkat 45 dari 141 negara dalam Global Competitiveness Index. Sumber daya manusia menjadi perhatian utama. Jika kita lengah, daya saing akan turun, arah akan kabur, dan kemerdekaan tinggal jadi simbol yang kosong.

Dari Retorika ke Aksi

Mari kita rayakan 80 tahun kemerdekaan bukan hanya dengan upacara, jargon, atau parade, tetapi lewat tindakan nyata: mengembangkan inovasi berbasis kearifan lokal, memperkuat solidaritas lintas identitas, melawan hoaks dengan literasi digital, serta membangun Indonesia yang tangguh di tengah dunia yang terus berguncang.
Karena bangsa yang benar-benar merdeka bukan hanya bebas dari penjajahan, tapi juga berani membebaskan diri dari kemalasan berpikir dan ketakutan bertindak.

Dirgahayu ke-80 Republik Indonesia

Langitmu tetap biru, tanahmu tetap subur, dan semangat juangmu tetap menyala di dada kami.