December 31, 2025
JL. SULTAN ALAUDDIN NO. 259, Kec. Rappocini, Gunung Sari, Kota Makassar, 90221
BERITA ILMIAH BERITA UTAMA

Ironi Ummatan Waahidah: Solid di Tahun Baru Masehi, Terpecah di Kalender Sendiri

Oleh: Hisbullah Salam, S.Pd., M.H.

Umat Islam yang diidealkan sebagai “ummatan waahidah” sebagaimana yang tercantum dalam QS. Al-Anbiya’ : 92 dan QS. Al-Mu’minun : 52, justru mempertontonkan ironi tahunan: kompak merayakan Tahun Baru Masehi—yang berakar pada tradisi Kristen—sementara hari-hari besar mereka sendiri seperti Awal Ramdhan, Idul Fitri dan Idul Adha kerap berbeda akibat tiadanya kalender Islam pemersatu. Observasi sosial menunjukkan antusiasme tinggi menyambut 1 Januari, kontras dengan kesadaran akan Tahun Baru Hijriyah yang sering sekadar seremonial.

Penyatuan kalender Islam telah dimulai puluhan tahun lalu. Sejak kajian mendalam oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir (w. 1377/1958) pada tahun 1939 hingga pertemuan kontemporer pada Konferensi Istanbul pada 2016, perbedaan penentuan awal bulan hijriahtetap tak terelakkan. Sementara itu, dunia mengadopsi kalender Gregorian—ditetapkan Paus Gregorius XIII tahun 1582—sebagai standar global. Umat Islam pun hidup dalam dualisme kalender: Hijriyah untuk ibadah yang terfragmentasi, Masehi untuk kehidupan sehari-hari.

Dampaknya nyata. Tahun 2025 ini saja, dalam konteks pelaksanaan Salat Idul Fitri, terjadi 3 hari (tanggal) yang berbeda yaitu pada 30 Maret, 31 Maret dan 1 April 2025. Sementara dalam konteks Idul Adha, seringkali Indonesia dan Arab Saudi berbeda penentuan 1 Dzulhijjah seperti yang terjadi pada tahun 2024, dimana Arab Saudi menetapkan 1 Dzulhijjah 1445 jatuh pada Jumat 7 Juni 2024, sementara Indonesia melalui Kementrian Agama menetapkan 1 Dzulhijjah 1445 H bertepatan pada Sabtu 8 Juni 2024. Perbedaan ini menyebabkan umat muslim di Indonesia melakukan puasa Arafah pada hari berbeda dengan pelaksanaan Wukuf Arafah di Arab Sauidi. Secara ekonomi, perbedaan ini mengganggu sektor pariwisata umrah dan perdagangan antarnegara Muslim. Secara sosial, generasi muda tumbuh dengan penguasaan kalender Masehi yang lebih baik daripada Hijriyah.

Dalam konteks aqidah, kadangkala terjadi Paradoks, di satu sisi kita sangat anti atas usaha kristenisasi, tapi ikut euphoria saat natal dan tahun baru. Sementara cendekiawan Muslim mendesak penyatuan kalender dengan basis astronomi modern. Langkah konkret diperlukan: kriteria ilmiah yang disepakati, penguatan kalender Hijriyah dalam sistem pendidikan, dan political will pemimpin negara-negara Muslim.

Pada akhirnya, kalender adalah identitas peradaban. Ketika umat Islam sibuk dengan perayaan tahun baru agama lain sambil mengabaikan fragmentasi kalendernya sendiri, ia sedang menyerahkan kedaulatan waktu. Pertanyaannya: maukah kita menyelesaikan persatuan kalender sendiri sebelum sibuk dengan resolusi tahun baru orang lain?