
UNISMUH.AC.ID, MAKASSAR — Menjelang Resepsi Milad 113 Muhammadiyah tingkat Wilayah, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan Prof Mustari Bosra menegaskan bahwa kemampuan Muhammadiyah untuk melangkah ke panggung internasional sangat ditentukan oleh kekuatan regenerasi.
Pesan itu ia sampaikan dalam kultum ba’da Dzuhur di Masjid Subulussalam Al Khoory, Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Kamis, 4 Desember 2025.
Prof Mustari membuka kultumnya dengan mengutip QS. An-Nisa: 9, yang ia jadikan pengingat agar umat tidak meninggalkan generasi yang lemah—baik dari sisi ilmu, akhlak, maupun daya saing.
“Apakah Muhammadiyah akan tetap bertahan hingga dua dekade mendatang, hingga usia 213 tahun? Itu sangat tergantung dari generasi kita saat ini,” ujarnya.
Regenerasi sebagai Pilar Keberlanjutan
Dalam refleksinya, Prof Mustari menyinggung pengalaman kaderisasi Muhammadiyah pada masa lalu yang menekankan proses pembinaan berlapis. Ia mengingat, pada era 1980-an, memperoleh Kartu Tanda Anggota (KTA) Muhammadiyah bukanlah urusan cepat, melainkan melalui tahapan yang bisa memakan waktu hingga tiga tahun.
Menurut dia, pola seperti itu ditempuh untuk memastikan seseorang sungguh-sungguh memahami paham keagamaan Muhammadiyah dan arah gerak persyarikatan. Seiring perubahan zaman, sistem kaderisasi berkembang. Di sejumlah perguruan tinggi Muhammadiyah, mahasiswa bahkan didorong memiliki KTA sebelum menyelesaikan studi.
Bagi Prof Mustari, langkah tersebut merupakan ikhtiar menjaga kesinambungan kader, terutama ketika Muhammadiyah memasuki abad kedua pergerakannya dan menghadapi tantangan yang kian kompleks.
Prof Mustari menilai salah satu kekuatan Muhammadiyah terletak pada watak pemikiran keagamaannya yang dinamis. Ia menyebut kerangka bayani, burhani, dan irfani sebagai cara kerja nalar keagamaan yang membuat Muhammadiyah relatif adaptif dalam merespons isu-isu kontemporer.
Ia mengingatkan, gagasan tajdid Muhammadiyah sejak awal abad ke-20 tidak selalu diterima dengan mudah. Salah satu contoh yang ia angkat ialah upaya pengukuran arah kiblat sekitar satu abad lalu yang sempat dicurigai dan dituding menyimpang.
“Ketika Muhammadiyah melakukan pengukuran arah kiblat 100 tahun lalu, itu dianggap tindakan menyimpang. Bahkan dituduh mendirikan agama baru,” kata Prof Mustari.
Seiring waktu, metode tersebut justru diterima luas dan menjadi rujukan. Ia juga menyinggung penggunaan bahasa daerah dalam khutbah Jumat yang dulu sempat dipersoalkan, tetapi belakangan lebih diterima sebagai cara mendekatkan pesan keagamaan pada konteks jamaah.
Kalender Hijriah Global Tunggal
Dalam bagian lain kultumnya, Prof Mustari menyinggung gagasan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) sebagai salah satu bentuk ikhtiar pembaruan. Meski belum sepenuhnya diterima luas, ia menilai KHGT lahir dari semangat membangun kesatuan umat Islam dalam penentuan waktu secara global.
Menurut dia, konsistensi Muhammadiyah menghadirkan pembaruan, sembari menjaga akar tradisi persyarikatan, menjadi modal penting untuk membangun jejaring dan penerimaan di berbagai komunitas dunia.
Prof Mustari menegaskan, Milad ke-113 bukan sekadar perayaan, melainkan momentum evaluasi dan peneguhan arah gerakan. Ia menilai, jika kaderisasi kuat dan tajdid tetap berjalan, Muhammadiyah tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga relevan di tingkat global.
“Semangat tajdid inilah yang membuat Muhammadiyah siap diterima oleh komunitas mana pun di dunia,” ujarnya menutup kultum.

