November 27, 2025
JL. SULTAN ALAUDDIN NO. 259, Kec. Rappocini, Gunung Sari, Kota Makassar, 90221
BERITA KAMPUS

IMM FKIP Unismuh Bedah Literasi Digital dan Tantangan Nalar Kritis di Era Post-Truth

UNISMUH.AC.ID, MAKASSAR – Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (Pikom IMM FKIP) Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar menggelar Dialog Pendidikan dengan tema ‘Penguatan Literasi Intelektual: Menumbuhkan Nalar Kritis Menuju IMM FKIP Inklusif’. Acara tersebut berlangsung di Mini Hall FKIP Unismuh Makassar, Kamis, 27 November 2025.

Kegiatan ini menghadirkan Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel Dr. Hadisaputra, dan Pengurus DPD IMM Sulsel Aqram Pamungkas Abadi. Dialog dipandu Pengurus IMM FKIP Unismuh Nurul Faradilah.

Menurut Ketua Pikom FKIP Unismuh, Aidil Akbar Iskam, kegiatan ini bertujuan memperkuat fondasi intelektual dan nalar kritis kader melalui telaah filosofis terhadap literasi sebagai basis peningkatan mutu pendidikan nasional dan benteng dari era pasca-kebenaran (post-truth).

Dialog ini dilaksanakan sebagai upaya konkret organisasi mahasiswa dalam mencetak kader terpelajar yang mampu berfikir kritis dan terlibat aktif dalam transformasi sosial.

Pemateri pertama, Aqram Pamungkas Abadi, memulai pembahasan dengan memaparkan konsep literasi melalui tiga kerangka filsafat: Ontologi (hakikat), Epistemologi (cara mengetahui), dan Aksiologi (nilai). Pendekatan ini diperlukan agar pemahaman literasi tidak hanya berhenti pada aktivitas dasar membaca dan menulis saja.

Dari sisi ontologi, Aqram menjelaskan bahwa hakikat literasi dalam kacamata teologis adalah fondasi dasar bagi kesadaran ilahiyah dan merupakan bagian dari ibadah intelektual.
Ia merujuk pada ayat pertama Al-Qur’an, yang memerintahkan manusia untuk “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu” (Iqra bismirabbik).

Aqram menegaskan bahwa membaca di sini tidak hanya merujuk pada teks (ayat-ayat qauliyah), tetapi juga pada tanda-tanda kebesaran Tuhan seperti peristiwa, kondisi, dan gejala alam (ayat-ayat kauniyah).

Dengan demikian, setiap aktivitas literasi harus dilandasi Bismillahirrahmanirrahim agar memiliki nilai peribadatan di sisi Allah SWT.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa setiap manusia telah diberikan potensi oleh Allah untuk meliterasi, berupa penglihatan, pendengaran, dan hati (sam’a, bashara, dan af’ida). Jika potensi ini tidak digunakan untuk memahami tanda-tanda kebesaran-Nya, Aqram mengingatkan, “Allah menegaskan bahwa dialah bagaikan binatang ternak.”

Di sisi aksiologi, Aqram menyoroti peran literasi bagi kader IMM, yang harus menjadi manusia terpelajar, mampu berpikir kritis, dan memiliki nilai profetis. Ia menyimpulkan bahwa literasi adalah fondasi dasar bagi gerakan intelektual dan syarat mutlak bagi kader yang mumpuni.

“Ketika kita membangun tradisi literasi, sebenarnya, Teman-teman, maka sesungguhnya kita sedang membangun karakter dan masa depan gerakan yang cemerlang,” tegas Aqram.

Ia memberi indikator bahwa jika tradisi literasi di IMM FKIP mundur atau tidak terawat, maka organisasi tersebut juga akan mengalami kehancuran.

Pemateri kedua, Dr. Hadisaputra, melanjutkan diskusi dengan mengupas ancaman kontemporer terhadap nalar kritis. Ia menyoroti Era Post-Truth sebagai era orang lebih memercayai emosi daripada fakta objektif, dan berbohong tidak lagi dianggap sebuah dosa.” Kebohongan, katanya, kini berganti nama menjadi “kebenaran alternatif.”

Ia juga memaparkan mengapa hoax mudah menyebar: para penyebar hoax sebenarnya menyebarkan informasi yang sudah menjadi harapan atau keinginan emosional audiensnya.

Hal ini diperburuk dengan cara kerja algoritma media sosial yang menciptakan echo chambers (ruang gema) di mana pengguna hanya disajikan konten yang disukai.

Untuk memerangi hoax, Hadi menekankan pentingnya mencapai level berpikir tingkat tinggi atau High Order Thinking Skill (HOTS). HOTS mencakup kemampuan menganalisis, mengevaluasi, dan berkreasi, yang kontras dengan level rendah (mengingat, mengetahui, menerapkan).

Hadi juga menyoroti teknik-teknik post-truth, seperti Argumentum ad Hominem (menyerang pribadi untuk menolak kritik) dan Argumentum ad Infinitum (kebohongan yang diulang-ulang akan menjadi kebenaran, teori Goebbels).

Ia juga menyebut strategi Weaponization of Information (menggunakan informasi sebagai senjata), seperti sensor modern, yaitu membanjiri audiens dengan informasi bertubi-tubi hingga mereka menjadi skeptis dan apatis.

Moderator dialog ini menyimpulkan bahwa peran generasi muda, khususnya kader IMM adalah menjadi makhluk penafsir yang mampu menginterpretasikan dunia dan mengoptimalkan akal mereka. Literasi yang matang adalah motor penggerak bagi misi intelektual profetik IMM yang mencakup gerakan humanisasi, liberasi, dan transendensi.