November 21, 2025
JL. SULTAN ALAUDDIN NO. 259, Kec. Rappocini, Gunung Sari, Kota Makassar, 90221
BERITA KAMPUS OPINI KAMPUS

Hari Anak Sedunia 2025: Dosen Unismuh Makassar Soroti Hak Anak di Era Digital

UNISMUH.AC.ID, Makassar — Peringatan Hari Anak Sedunia 2025 menjadi momentum penting untuk kembali menegaskan pemenuhan hak-hak anak, terutama di tengah pesatnya perkembangan dunia digital.

Rukiana Novianti P., S.Psi., M.Psi., Psikolog, Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, menekankan bahwa tema global tahun ini, “My Day, My Rights”, mengajak anak untuk memahami dan memperjuangkan hak mereka sendiri. Hal itu diungkapkan saat ditemui di ruang kerjanya, di Gedung Iqra Lantai 4, Kampus Unismuh Makassar, Kamis, 20 November 2025.

Rukiana menegaskan bahwa anak membutuhkan ruang untuk menyuarakan pendapat dalam kehidupan sehari-hari. “Anak itu harus lebih didengarkan suaranya. Mereka perlu tahu bahwa pendapatnya penting dan haknya harus diperjuangkan,” ujarnya.

Menurutnya, kesempatan untuk berpendapat memberi dampak besar pada pembentukan kepercayaan diri dan kemampuan anak mengenali batas-batas diri.

Ia menambahkan, ketika anak memahami hak tumbuh kembang, hak atas pendidikan layak, kasih sayang, serta rasa aman, perkembangan psikologis mereka akan berjalan lebih optimal. Fondasi ini penting untuk membentuk regulasi emosi sejak dini.

Hak Anak Masih Terabaikan

Di banyak daerah, termasuk Makassar, sejumlah hak anak dinilai masih belum terpenuhi secara proporsional. Bentuk pelanggaran yang paling sering ditemui adalah kekerasan fisik, verbal, maupun digital.

Hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan keluarga juga masih kerap diabaikan. “Banyak orang tua yang belum memberi ruang anak untuk berpendapat, padahal ini penting bagi tumbuh kembang mereka,” kata Rukiana.

Ketimpangan tersebut semakin nyata pada keluarga menengah ke bawah yang menghadapi tekanan ekonomi dan sosial.

Rukiana juga menyoroti kondisi kesehatan mental anak yang semakin kompleks akibat pola hidup digital. Banyak anak mengalami kecemasan, rendah diri, menarik diri dari lingkungan, kesulitan tidur, hingga kecanduan gawai.

Anak yang menjadi korban kekerasan, lanjutnya, lebih rentan mengalami depresi, gangguan makan, hingga rasa tidak aman saat berinteraksi. Tekanan akademik serta paparan konten digital yang negatif memperburuk kondisi emosional mereka.

“Pengaruh gadget bukan dari alatnya, tetapi dari akses kontennya. Itu yang membentuk perilaku positif atau negatif,” jelasnya.

Risiko kekerasan digital seperti cyberbullying juga semakin besar. Banyak kasus menunjukkan bahwa serangan daring sering kali lebih menyakitkan daripada intimidasi langsung karena terjadi tanpa batas ruang dan waktu. Anak yang mengalaminya rentan cemas, kehilangan kepercayaan diri, hingga mengalami depresi.

Peran Orang Tua dan Sekolah

Untuk menciptakan lingkungan yang aman, Rukiana menekankan pentingnya pola pengasuhan positif. Orang tua perlu membuka ruang dialog, membuat aturan yang jelas, dan tidak memenuhi semua keinginan anak.

Guru juga berperan penting dengan membangun kelas inklusif serta peka terhadap tanda-tanda kekerasan atau perubahan perilaku siswa. Lingkungan rumah dan sekolah yang aman, menurutnya, adalah kunci dalam menjaga kesehatan mental anak.

Rukiana berharap Hari Anak Sedunia menjadi pengingat bahwa kesehatan mental dan kesejahteraan anak merupakan investasi jangka panjang.

“Anak harus merasa aman, dihargai, dan diperhatikan agar tumbuh menjadi generasi yang kuat. Hak anak bukan hanya diberikan, tetapi mereka juga harus diajarkan untuk memperjuangkannya,” ujarnya.