UNISMUH.AC.ID, MAKASSAR — Di aula Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Provinsi Sulawesi Selatan, puluhan peserta dari berbagai provinsi di Kawasan Timur Indonesia duduk berjejer rapi. Mereka datang dari Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo. Ada yang tiba semalaman naik bus, ada pula yang menempuh perjalanan udara beberapa jam. Semuanya berkumpul dalam satu tekad: memperkuat kembali denyut pendidikan Muhammadiyah di wilayahnya.
Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) dan Pendidikan Nonformal (PNF) Pimpinan Pusat Muhammadiyah membuka Pendidikan dan Latihan Khusus Pimpinan (Diksuspim) Regional 1 Sulawesi di kota Makassar, Jumat, 13 Juni 2025. Kegiatan ini menjadi titik konsolidasi penting, bukan hanya untuk transfer keterampilan teknis kepemimpinan memajukan sekolah, tetapi juga sebagai ruang refleksi kolektif tentang arah pendidikan Muhammadiyah hari ini dan esok.
Pelatihan ini berbeda dengan Pendidikan Khusus Kepala Sekolah (Diksuspala), Diksuspim ini menyasar Pimpinan Muhammadiyah, yakni Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhamamdiyah (PWM) dan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) yang membidangi Pendidikan serta Ketua dan Sekretaris Majelis Dikdasmen dan PNF PWM.
“Kalau kita tetap menyasar segmen bawah, maka kita hanya bersaing dengan negara,” ujar Didik Suhardi, Ph.D., Ketua Majelis Dikdasmen dan PNF PP Muhammadiyah dalam sambutannya yang menyulut banyak kepala mengangguk.
Didik tidak sedang bicara basa-basi. Ia menyodorkan ironi sekaligus tantangan, Jaringan Sekolah Islam Terpadu yang berdiri tahun 2007 telah memiliki 2.700 sekolah dan menyasar segmen menengah ke atas. Muhammadiyah, yang memulai sejak 1912 dan kini memiliki hampir 6.000 sekolah, masih banyak berkutat pada layanan pendidikan murah.
“Sudah waktunya kita naik kelas,” tegas Didik.
Minoritas yang Melampaui
Kontras lain disampaikan Didik lewat contoh kehadiran peserta Diksuspim. Sulawesi Utara, dengan populasi Muslim minoritas, justru hadir dengan 13 orang utusan. Sementara Sulawesi Tenggara, yang mayoritas Muslim, hanya mengirim satu orang. Ini, menurutnya, bukan hanya soal teknis kehadiran. “Ini menyangkut niat dan arah gerakan kita.”
Kehadiran para narasumber dari berbagai provinsi menunjukkan keseriusan. Ada Kiai Dr. Salihin Wanani dari PWM Jawa Timur, Drs KH Jaswadi dari Kalimantan Timur, dan Ali Musyafa dari Lampung, yang sedang membangun training center di atas tanah wakaf seluas 6,5 hektare. Dari dunia akademik hadir pula Prof. Sukiman dari UNES, Dr. Utomo dari UM Kendal, serta Erwin Akib PhD dan Dr. Mulyana yang siap mendampingi daerah bahkan sampai sebulan penuh.
“Jangan sampai sekolah Muhammadiyah ditolak siswa. Justru kita yang harus menolak karena kelebihan peminat,” tantang Didik.
Paradoks Murid dan Kaderisasi
Pendidikan, bagi Muhammadiyah, adalah jantung gerakan. Tanpa murid, dakwah menyempit. Tanpa mutu, kaderisasi lumpuh. Ketika sekolah Muhammadiyah hanya punya 6 hingga 10 murid, bukan hanya guru yang sulit sejahtera, tapi juga organisasi kehilangan daya regennya.
“PWM dan PDM yang mampu berinovasi biasanya punya AUM yang maju. Tapi kalau AUM-nya jalan di tempat, biasanya gerakan persyarikatannya pun lesu,” ujar Didik.
Di tengah itu, Ketua PWM Sulawesi Selatan, Prof Ambo Asse, menyerukan kembali kesadaran bahwa mengelola amal usaha pendidikan adalah bentuk jihad fi sabilillah. Ia mengingatkan pentingnya menghindari konflik internal yang bisa berujung pada matinya sekolah. “Dulu banyak sekolah kita dinegerikan karena konflik. Sekarang jangan lagi.”
Napas Gerakan
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Irwan Akib, dalam sambutannya menggarisbawahi bahwa pendidikan Muhammadiyah harus kembali pada napas gerakan, bukan hanya soal kurikulum dan infrastruktur, tapi ruh keikhlasan dan visi pengkaderan.
Ia mengingatkan pentingnya menyeimbangkan kognisi, afeksi, dan psikomotor dalam proses pembelajaran. Ismuba bukan hanya jam pelajaran, tetapi identitas dan semangat yang harus mengalir dalam seluruh aktivitas sekolah. “Kalau kita sibuk bertengkar, tapi murid tidak ada, itu pertanda kita gagal.”
Irwan juga menyinggung kesenjangan antara sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah. Banyak sekolah belum tersambung dengan Perguruan Tinggi Muhammadiyah – Aisyiyah (PTMA) terdekat, padahal bisa menjadi laboratorium pendidikan. Ia mengajak setiap PDM menargetkan minimal satu sekolah unggulan yang bisa menjadi pusat inspirasi dan replikasi.
“Jangan hanya datang menagih Uang Infak, tapi tidak pernah membina sekolah,” katanya lugas.
Agenda Strategis Nasional
Selain konsolidasi kepemimpinan, forum Diksuspim juga menjadi ruang sosialisasi tiga agenda strategis nasional yang diharapkan dapat diadopsi oleh sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Pertama, peningkatan daya nalar siswa. Berdasarkan data PISA, 99 persen siswa Indonesia masih berada pada level berpikir rendah. Karena itu, pendekatan deep learning akan diterapkan di 65.000 satuan pendidikan nasional pada 2025. Muhammadiyah didorong menjadi pelopornya.
Kedua, penguatan karakter siswa. Menteri Pendidikan memperkenalkan tujuh kebiasaan sehat harian yang perlu ditanamkan di sekolah: bangun pagi, ibadah, olahraga, makan bergizi, belajar, bermasyarakat, dan tidur cukup. Sekolah Muhammadiyah diminta tampil sebagai model implementasi.
Ketiga, penguasaan teknologi melalui pelajaran coding dan kecerdasan buatan (AI). Mulai tahun depan, mata pelajaran ini akan ditawarkan sebagai pilihan dan menjadi bagian dari penguatan sains dan teknologi. Sekolah Muhammadiyah diminta bersiap agar tidak tertinggal dalam perkembangan tersebut.
***
Jika satu abad lalu Kiai Ahmad Dahlan mendirikan madrasah dengan delapan murid dan menjual barang pribadinya demi menggaji guru, kini tantangan Muhammadiyah tak lagi di soal niat, tetapi arah dan kualitas. Diksuspim Makassar menjadi pengingat bahwa usia tua tak menjamin unggul. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk berubah dan keikhlasan untuk terus belajar.
Seperti kata Didik Suhardi, “Better late than never, Mari kita ubah pendekatan kita. Hadirkan pendidikan modern, terjangkau, dan bermutu.”