April 24, 2025
JL. SULTAN ALAUDDIN NO. 259, Kec. Rappocini, Gunung Sari, Kota Makassar, 90221
BERITA KAMPUS

Usulan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Setujukah Muhammadiyah?

UNISMUH.AC.ID, YOGYAKARTA — Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, menyarankan agar polemik mengenai pengusulan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional disikapi dengan bijak melalui dialog yang bersifat rekonsiliatif. Pernyataan ini disampaikan menanggapi kontroversi seputar usulan gelar kehormatan untuk Presiden RI ke-2 tersebut.

“Semua pihak perlu duduk bersama dalam dialog rekonsiliatif untuk mencari titik temu. Kita harus mampu menghargai tokoh bangsa dengan segala dinamika sejarahnya,” ujar Haedar di Yogyakarta, sebagaimana dilansir CNN, Selasa, 22 April 2025.

Usulan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional memicu pro dan kontra di tengah masyarakat. Haedar menegaskan bahwa sejarah Indonesia dipenuhi oleh tokoh-tokoh dengan kontribusi besar, meskipun tak luput dari kontroversi. Ia mencontohkan pemberian gelar pahlawan untuk Bung Karno yang juga sempat menimbulkan perdebatan panjang.

“Bung Karno adalah proklamator dan tokoh sentral republik ini, namun pengukuhannya sebagai pahlawan nasional juga pernah mengalami keterlambatan karena dinamika politik masa lalu,” jelasnya.

Menurut Haedar, pengalaman serupa juga dialami tokoh-tokoh lain seperti Mohammad Natsir dan Buya Hamka yang sempat sulit diakui secara formal, meskipun peran mereka diakui publik luas.

Oleh karena itu, Haedar mengajak semua pihak untuk membangun rekonsiliasi sejarah demi kepentingan bangsa ke depan. Ia menekankan bahwa rekonsiliasi harus dilakukan melalui mekanisme ketatanegaraan yang sah dan terbuka.

“Rekonsiliasi menjadi jalan tengah untuk menyudahi tarik ulur yang kontradiktif di tengah masyarakat. Dampak kebijakan masa lalu yang menimbulkan pelanggaran HAM dan sebagainya, perlu diselesaikan dengan pendekatan konstitusional,” tambahnya.

Sementara itu, Menteri Sosial Saifullah Yusuf menegaskan bahwa proses pengusulan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional berasal dari inisiatif masyarakat melalui seminar dan masukan para sejarawan. Dukungan serupa juga datang dari Fraksi Golkar MPR yang membahas usulan tersebut bersama Satkar Ulama Indonesia.

Namun, gerakan masyarakat sipil seperti GEMAS (Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto) menyuarakan penolakan. Mereka mendesak Kemensos agar tidak melanjutkan proses pengusulan Soeharto, mengingat masih banyaknya luka sejarah, khususnya terkait pelanggaran HAM berat di masa Orde Baru.

Menanggapi hal itu, Haedar mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam membaca sejarah dan perlunya keterlibatan semua elemen bangsa dalam proses pengambilan keputusan.

“Sudah saatnya bangsa ini melangkah ke depan melalui rekonsiliasi bertahap, bukan lagi saling tarik ulur yang justru memperlemah integrasi nasional,” pungkas Haedar Nashir.