UNISMUH.AC.ID, MAKASSAR – Ketua PP Muhammadiyah, Dr KH M Saad Ibrahim membahas keterkaitan antara teks-teks (Al-Qur’an dan Hadis) agama Islam dengan sejumlah penemuan sains modern, khususnya dalam dunia kesehatan. Ia menyampaikan itu saat menjadi pembicara pada kuliah tamu yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar yang mengangkat tema ‘Perpaduan Ilmu Kesehatan dan Kesehatan Islam’, Jumat, 30 Agustus 2024.
Bahas Hadits Lemah Tentang Puasa dan Korelasi Temuan Sains dan Agama
Mengawali pembahasan soal dunia kesehatan, Saad mengutip mengutip salah satu hadis populer tentang keterkaitan puasa dan kesehatan. Salah satunya adalah ‘Shumu Tashihhu’, yang berarti puasalah, niscaya kamu akan sehat.
“Ini hadis daif (lemah),” ujar Saad.
Namun, dalam beberapa hal, hadis dhaif bisa saja diterima oleh sebagian ulama (orang yang memiliki keahlian dalam ilmu agama). Catatannya, kata dia, hadis daif diamalkan hanya untuk memperoleh manfaat.
“Hadis daif itu para ulama sebagian bisa menerimanya untuk konteks yang bukan pokok. Pokok ajarannya mengenai puasa itu ada di surat Al-Baqarah ayat 183,” kata Saad.
Setelah itu, ia mengutip cerita tentang Yoshinori Ohsumi. Seorang ahli biologi yang bekerja di Institut Teknologi Tokyo, Jepang.
Komite Nobel menganugerahi Yoshinori karena dianggap berjasa. Yoshinori berjasa atas temuannya tentang degradasi dan daur ulang sel dalam proses yang disebut dengan autofagi.
“Yoshinori itu bukan seorang muslim, tapi penelitiannya bersentuhan dengan itu (hadits dhaif tentang puasa menyehatkan),” tutur Saad.
Hasil penelitian Yoshinori, kata Saad, secara spesifik menjelaskan mekanisme kerja sel, termasuk ketika seseorang sedang berpuasa.
“Dalam konteks sel, sel itu kan selalu bekerja yah, termasuk ketika ada asupan makanan. Ketika asupan makanan habis, makan sel akan memakan dirinya sendiri,” ujar dia.
“Tapi yang dimakan memang adalah bagian-bagian yang sudah harus dibuang. Maka dengan proses melaparkan diri itu terjadilah. Kalau kita sahur kira-kira pukul 04.00, misalnya jam 12.00 makanan yang kita pakai sahur sudah diolah dan disalurkan. Setelah itu tidak ada lagi makanan, tapi sel akan terus bekerja, karena itu sel akan memakan bagian-bagian dirinya, tapi itu adalah proses daur ulang untuk melahirkan sel baru,” imbuh Saad.
Sehingga, kata Saad, alasan sebagian ulama menerima hadits dhaif benar-benar untuk kebermanfaatan bagi manusia.
“Konteks hadits ‘puasa agar sehat’, secara saintifik mendapatkan pembenaran,” tutur dia.
Kisah itu, kata Saad, memperoleh dukungan dari Ian Barbour. Seorang cendekiawan dari Amerika Serikat yang menyoroti hubungan antara sains dan agama. Pandangan Ian Barbour itu belakangan dikenal karena telah menciptakan bidang kontemporer antara agama dan sains.
“Ian Barbour punya pandangan tentang When Science Meet Religion, meskipun ia sendiri tidak mau mengambil sejarah dalam kehidupan barat karena ilmu barat itu gagal memadukan, mendialogkan, apalagi merelasikan hubungan antara agama dan sains. Tapi dalam konteks ini adalah agama yang mereka peluk yang tentu bukan Islam,” papar Saad.
Al-Qur’an Tahan Kritik Ilmiah
Saat bercerita tentang kisah dirinya yang pernah belajar di majelis yang diasuh oleh Nurcholis Madjid. Ia menuturkan pandangan Nurcholis Madjid yang menyebut Al-Qur’an sebagai kitab suci tak bisa ditembus oleh kritik ilmiah.
“Satu waktu, saya mengikuti kuliah, kajian kitab Asy-Syifa’, bab Kitabun Nafs yang diasuh oleh Doktor Nurcholis Madjid. Beliau mengatakan, Islam, khususnya Al-Qur’an itu tahap atas kritik ilmiah, artinya tidak bisa ditembus karena penemuan ilmiah itu link dengan ajaran Islam. Bahkan dalam banyak hal, isi kitab suci itu mendahului (penemuan modern),” kisah dia.
Salah satu temuan fenomenal, kata Saad, adalah teori Big Bang. Meski teori itu tak ditemukan oleh seorang muslim, Saad menyebutnya telah diceritakan oleh Allah melalui Al-Qur’an.
“Teori Big Bang itu ditemukan sekitar 60 atau 50 tahun lampau, tapi di surat Al-Anbiya ayat itu Allah sudah menjelaskan. Bedanya, teori Big Bang tidak ada dimensi teologisnya,” ucap dia.
“Karena itu pernyataan Nurcholis Madjid adalah sesuatu yang tepat, dan ini tidak bisa terjadi dalam konteks relasi sains dan otoritas gereja, kitab suci mereka atau wahyu mereka,” tambah Saad.
Sehat Diawali Dengan Ikut Petunjuk Al-Qur’an
Saad meyakini, kesehatan fisik mesti diawali dengan kesehatan jiwa. Sementara, Al-Qur’an menawarkan alternatif kesehatan jiwa dengan menaati perintah Allah.
“Orang yang mengabaikan petunjuk Allah itu termasuk orang yang bodoh. Kan orang yang melaksanakan ibadah puasa itu karena taat terhadap petunjuk, dan kita tahu bahwa berpuasa artinya mendatangkan kesehatan bagi diri sendiri,” ujar dia.
Karena itu, ia mewanti-wanti civitas di Fakultas Kedokteran Unismuh Makassar khususnya yang telah berstatus dokter, agar tak menganggap diri sebagai penyembuh. Sebab, Ibnu Sina sendiri, yang dikenal sebagai perintis ilmu kedokteran menyebut dimensi penyembuhan adalah otoritas Allah.
“Allah adalah As-Syafi’, yang memberikan penyembuhan. Dalam dimensi teologis, di Fakultas Kedokteran ini, tidak boleh ada dokter yang menyatakan dirinya bisa menyembuhkan, tetapi hanya bisa mendiagnosa dan memberikan obat. Soal kesembuhan itu otoritas Allah,” ucap Saad.
“Allah, di dalam kitab As-Syifa’ disebut sebagai otoritas yang berada pada hal-hal metafisika,” tambah dia.
Alumni Cornell University Tanggapi Saad Ibrahim
Salah satu jebolan Cornell University (Amerika Serikat) yang juga berstatus Guru Besar dalam ilmu kedokteran, Veni Hadju membenarkan cerita Saad Ibrahim soal inti ajaran Ibnu Sina bukanlah teknis kedokteran. Meskipun, salah satu karya Ibnu Sina pernah menjadi buku standar di semua Fakultas Kedokteran di seluruh dunia.
“Kitab As-Syifa’ ini isinya bukan teknis kedokteran. Tapi di bagian Al-Qanun itu saya pernah baca dan memang bicara tentang ilmu kedokteran dan buku ini pernah menjadi buku standar di seluruh fakultas kedokteran seluruh dunia, makanya Ibnu Sina disebut sebagai bapak kedokteran dunia di masa negara-negara Eropa belum berkembang. Tapi buku itu hanya menjadi standar di fakultas kedokteran hingga abad ke-18, setelah negara-negara Eropa maju, buku itu dianggap tidak penting lagi,” papar Veni.
“Karya Ibnu Sina ini, As-Syifa’ terkait dengan kekuatan jiwa, bagaimana fisik ini sangat dipengaruhi oleh kejiwaan. Dan Alhamdulillah saat ini penelitian-penelitian ke arah itu sudah sangat banyak,” tambah dia.
Karena itu, Veni merekomendasikan karya Ibnu Sina itu menjadi salah satu pelajaran dasar di FK Unismuh Makassar.
“Kita memang harus mengkaji lagi kitab As-Syifa’ ini supaya menjadi bahan kuliah dasar bagi mahasiswa kedokteran, mungkin yang sangat cocok sekali ya bagi mahasiswa Unismuh, khususnya di Fakultas Kedokteran yah, karena ajaran ini sangat kuat,” tutur dia.
Diketahui, Veni Hadju menyelesaikan studi S1 Kedokteran di Universitas Hasanuddin pada tahun 1987. Ia melanjutkan studi S2 dan S3 di Cornell University, Amerika Serikat.
Saat ini ia aktif mengampu mata kuliah di berbagai kampus, khususnya Fakultas Kedokteran. Salah satu mata kuliahnya adalah Herbal Medicine.